Komnas Perempuan dan Tujuh Mandat 2017

  • Faisal
  • 24 Januari 2018
  • 213
  • Bagikan:
Komnas Perempuan dan Tujuh Mandat 2017 Foto: istimewa

Kabartiga.com, Jakarta – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan menegaskan tujuh poin penting yang perlu disorot dalam memperjuangkan hak asasi manusia di Indonesia. Dalam siaran pers yang terbit pada 23 Januari sebagai Laporan Kerja Tahunan dalam Konsultasi Publik tahun 2018, Komnas Perempuan menekankan perlunya “Meneguhkan Penyikapan dan Mendekatkan Hak Korban” dalam proses pembelaan pelanggaran hak-hak dasar perempuan. 



Tujuan tersebut harus memenuhi, pertama, hak-hak korban kekerasan kemanusiaan di masa lalu seperti penyintas 65/66, peristiwa ’98, termasuk Aceh dan Papua yang hingga sekarang belum mendapatkan kepastian hukum. Sepanjang tahun 2017, sejumlah pembubaran diskusi maupun pertemuan korban terjadi di kota-kota besar seperti Medan, Padang, Solo, Bali, Yogyakarta, dan Jakarta. 



Kedua, menyadari bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam ranah yang lebih tertutup, contoh, perkawinan. Kesadaran bahwa seorang istri, meski sudah menyatakan cinta sehidup semati dengan suami tidak serta merta imun dari kekerasan. Perlu disadari oleh semua pihak, kekerasan juga tidak melulu dalam bentuk fisikal tetapi juga mental.   



Sebab mental yang paling populer di masyarakat adalah ajakan berpoligami bagi para suami yang mengatas-namakan agama. Situs seperti AyoPoligami.com dan Nikahsirri.com adalah bentuk nyata beberapa pihak yang tidak menghargai perempuan. Komnas Perempuan belum melihat pemerintah menindak tegas aksi propaganda yang bisa memicu perceraian dan kekerasan rumah tangga.   



Masih fokus pada kehidupan perempuan sebagai istri dalam rumah tangga, isu ketiga yang termasuk dalam tujuh poin penting adalah kekerasan yang berujung pada pemiskinan perempuan. Pemiskinan tersebut terjadi bersamaan dengan aksi penggusuran yang tidak memberikan kompensasi atau tempat tinggal pengganti bagi korban, bahkan bagi ibu yang memiliki anak di bawah 17 tahun. 



Beberapa aduan yang diterima Komnas Perempuan yaitu Penggusuran Komplek Tentara, Penggusuran Pemukiman di Wilayah Kebon Jeruk, Bandung oleh PT. Kereta Api Indonesia dan Pengosongan Lahan untuk Bandara di Kulon Progo. “Ketiga kasus ini umumnya memberikan dampak berupa trauma psikis karena intimidasi, kehilangan tempat tinggal, anak-anak sempat tidak sekolah karena harus mencari tempat berteduh yang baru, kriminalisasi kepada penduduk yang melakukan perlawanan.” 



Konteks kekerasan ini berlanjut pada poin keempat dan kelima dalam bentuk yang berbeda. Keempat adalah kekerasa seksual secara fisik, di dunia maya dan dimensi spiritualitas dan kelima adalah kekerasan dalam konteks diskriminasi dan politisasi identitas. Dalam poin kelima, termasuk di dalamnya pelanggaran yang melarang seseorang memeluk keyakinan tertentu dan mengancam aktifitasnya dengan penghancuran tempat ibadah.



Seluruh poin yang merangkum ratusan hingga ribuan aduan itu membawa kita pada poin keenam dan ketujuh. Pembela HAM di Indonesia khususnya perempuan, belum memiliki jumlah berimbang padahal infrastruktur, politik, dan persoalan sosial meningkat dengan cepat. Karena itu, wadah yang memberikan keleluasaan bagi korban untuk mengeluhkan masalahnya masih tidak memenuhi kuota. Terakhir, Komnas Perempuan berharap ada penguatan kelembagaan yang memberikan porsi perhatian lebih basar pada isu pelanggaran dibanding isu administratif. 



Reporter: AFN
Editor: Amar Faizal Haidar



Disarankan untuk anda